Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Cara Pengajuan Sengketa Hasil Pilkada Ke Mk

Berikut ini Ketentuan dan Mekanisme Pengajuan Sengketa Hasil Pilkada Ke Mk Mahkamah Konstitusi atau Teknik Mengajukan Gugatan Hasil Pilkada Ke MK Sesuai peraturan MK No. 1 Tahun 2015 dan Peraturan MK no 4 Tahun 2015.

A. Mekanisme Pengajuan Sengketa Pilkada Ke Mahkamah Konstitusi MK tau Teknik Mengajukan Gugatan Hasil Pilkada Ke MK  Apabila Calon Lebih Dari Satu Sesuai peraturan MK No. 1 Tahun 2015

Pada 17 Februari 2015, Sidang Paripurna dewan perwakilan rakyat akhirnya mengesahkan RUU perihal Perubahan atas UU No. 1 Tahun 2015 perihal Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 204 ihwal Pemilihan Guburnur, Bupati, Wali Kota (UU Pilkada).Sesuai  Pasal 157 ayat (3) UU No. 1/2015 junto UU No. 8/2015 sebut  bahwa "perkara perselisihan penetapan perolehan bunyi hasil pemilihan diperiksa dan diadili oleh MK hingga dibentuknya tubuh peradilan khusus".

Apabila calon lebih dari satu sesuai Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2015 ihwal Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, pihak pemohon yang berhak mengajukan undangan sengketa pilkada spesialuntuk pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta pasangan calon wali kota dan wakil wali kota. 






Pasal 5 Peraturan MK No 1 Tahun 2015 dijelaskab bahwa
(1) Permohonan Pemohon diajukan kepada Mahkamah paling lambat dalam batas waktu tenggang 3x24 (tiga kaii dua puhuh empat) jam semenjak termohon mengumumkan penetapan perolehan bunyi hasil Pemilihan.

(2) Permohonan Pemohon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia sebanyak 12 (dua belas) rangkap yang ditanhadirani oleh Pemohon dan/atau kuasa hukumnya disertai dengan surat kuasa khusus dan Pemohon yang dibubtthi meterai sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Ketentuan kasus hasil pemilihan Gubernur yang boleh di ejekan ke MK, diatur dalam pasal 6 Pertauran MK No 1 Tahun 2015, dengan ketentuan:

a. Provinsi dengan jumlah penduduk hingga dengan 2.000.000 (dua juta) jiwa, pengajuan Permohonan dilakukan bila terdapat perbedaan perolehan bunyi paling banyak sebesar 2% (dua persen) antara Pemohon dengan pasangan calon peraih bunyi terbanyak menurut penetapan hasil penghitungan bunyi oleh termohon;

b. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dan 2,000,000 (dua juta) hingga dengan 6.000000 (enam juta), pengajuan Permohonan dilakukan bila terdapat perbedaan perolehan bunyi paling banyak sebesar 1,5% (satu koma lima person) antara Pemohon dengan pasangan calon peraih bunyi terbanyak menurut penetapan hasil  penghitungan bunyi oleh Termohon;

c. Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dan 6,000,000 (enam juta) hingga dengan 12000000 (dun belas juta) jiwa pengajuan Permobonan dilakukan bila terdapat perbedaan perolehan bunyi paling banyak sebesar 1% (satu person) antara Pemohon dengan pasangan Calon peraih bunyi terbanyak menurut penelapan hasil penghitungan bunyi oleh Termohon.

d  Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12 000 000 (dua belas jutaj jiwa pengajuan Perniohonan dilakukan bila terdapat perbedaan perolehan bunyi paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima person) antara Pemobon dengan pasangan calon peraih bunyi terbanyak menurut penetapan hasil penghitungan bunyi oleh Termohon,

Ketentuan kasus hasil pemilihan Gubernur yang boleh di ejekan ke MK, diatur dalam pasal 6 Peraturan MK No 1 Tahun 2015

a Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk hingga dengan 250.000 (dua ratus Iima puluh ribu) jiwa pengajuan undangan dilakukan bila terdapat perbedaan perolehan bunyi paling banvak sebesar 2% (dun person) antara Pemohon dengan pasangan calon peraih bunyi terbanyak menurut penetapan kuman penghitungan bunyi oleh Termohon;

b Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250 000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa hingga dengan 500 000 (Lima Ratus Ribu) jiwa pengajuan undangan dilakukan bila terdapat perbedaan perobehan bunyi paling banyak sebesar I 5% (satu koma lima persen) anlara Pemohon dengan pasangan calon peraih bunyi terbanyak menurut penerapan hasil penghitungan bunyi oleh  termohon

c  Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500 000 (lima ratus ribu) jiwa hingga dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan Permohonan dilakukan bila terdapat perbedaan perolehan bunyi paling baynak sebesar 1% (satu persen) antara Pemohon dengan pasangan caton peraih bunyi terbanyak menurut penerapan kuman penghitungan bunyi oleh Termohon;

d        Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000 000 (satu juta) jiwa pengajuan Perrnohonan dilakukan bila terdapat perbedaan perolehan bunyi paling banyak sebesar 0,5% (nol koma lima persen} antara pemohon .dengan pasangan calon peraih cuara terbanyak menurut penetapan kuman penghutungan bunyi oleh Termohon.

Selengkapnya terkait Ketentuan dan Mekanisme Pengajuan Gugatan Hasil Pilkada Ke MK atau Teknik Mengajukan Gugatan Hasil Pilkada Ke MK untuk Calon lebih dari satu silahkan klik link download di bawah ini




B. Mekanisme Pengajuan Sengketa Hasil Pilkada Ke Mahkamah Konstitusi Mk atau Teknik Mengajukan Gugatan Hasil Pilkada Ke MK  Bagi Calon Tunggal Sesuai Peraturan MK no 4 Tahun 2015.

Mahkamah Konstitusi (MK) menetapkan pihak-pihak yang diperbolehkan menjadi pemohon dalam menggugat hasil pemilu kepala tempat secara sekaligus. Mereka ialah kandidat tunggal dan pemantau pemilu.

Ketua MK, Arief Hidayat menerangkan, pemohon yang sanggup menggugat hasil Pilkada hasil calon tunggal diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 4 Tahun 2015. Dimana yang diperbolehkan mengajukan undangan dalam sengketa tersebut ialah kandidat tunggal, yang tidak baiklah atas keputusan rakyat menurut pelaksanaan mekanisme referendum.

Mekanisme referendum ialah suatu sistem pemdiberian bunyi oleh rakyat di suatu wilayah yang bertujuan untuk menyatakan `setuju` atau `tidak setuju` terhadap pasangan satu-satunya yang akan memimpin tempat tersebut.

Keputusan bagi kandidat tunggal itu dilakukan melalui pengisian surat bunyi yang diisi oleh rakyat. sepertiyang sudah diatur pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 ihwal Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 ihwal Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota atau UU Pilkada.

“Dalam mekanisme tersebut, apabila pilihan `setuju` memperoleh bunyi terbanyak, maka pasangan calon diputuskan sebagai kepala tempat dan wakil kepala daerah,” ujar Arif kepada wartawan di gedung MK, Jakarta, Jumat (6/11).

Arif melanjutkan, apabila nanti ada keputusan tidak baiklah terhadap perolehan bunyi terbanyak, maka pemilihan ditunda hingga pilkada diberikutnya. Sesudah mekanisme itu dijalankan dan contohnya kandidat tunggal tidak baiklah dengan keputusan final dari proses pilkada tersebut, maka mereka sanggup menjadi pemohon pengajuan somasi sengketa pilkada kepada MK.

Selain kandidat tunggal, pemantau pemilu juga diizinkan menggugat keputusan pilkada sekaligus tersebut. Hal itu diperbolehkan apabila pemantau pemilu merasa tidak sesuai dengan kemenangan pasangan tunggal. misalnya, dari sisi peraturan perundangan yang menjadikan keputusan itu dianggap ada masalah, maka pemantau pemilu sanggup mengajukan somasi kepada MK.

“Apabila ada yang janggal maka pemantau pemilu diperbolehkan mengajukan gugatan,” ungkapnya.

Selengkapnya terkait Ketentuan dan Mekanisme Pengajuan Gugatan Hasil Pilkada Ke MK atau Teknik Mengajukan Gugatan Hasil Pilkada Ke MK untuk Calon Tunggal silahkan klik link download di bawah ini



Adapun asas-asas aturan program Mahkamah Konstitusi yang dijadikan dasar aturan dan fatwa dalam beracara antara lain:
1)      Persidangan Terbuka untuk Umum
Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 ihwal Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa sidang pengadilan ialah terbuka untuk umum kecuali undang-undang memilih lain. Hal ini berlaku secara universal dan berlaku di tiruana lingkungan peradilan. Dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 ihwal Mahkamah Konstitusi (UUMK) memilih secara khusus bahwa sidang Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum, kecuali Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Keterbukaan sidang ini ialah salah satu bentuk social control dan juga bentuk akuntabilitas Hakim. Transparansi dan jalan masuk publik secara luas yang dilakukan MK dengan membuka, bukan spesialuntuk sidang tetapi juga proses persidangan yang sanggup dilihat atau dibaca melalui transkripsi, diberita program dan putusan yang dipublikasikan lewat dunia maya.Tersedianya salinan putusan dalam bentuk hard copy yang sanggup diperoleh pihak Pemohon dan Termohon sehabis sidang pembacaan putusan yang dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum ialah interpretasi MK terhadap keterbukaan dan asas sidang terbuka untuk umum tersebut serta sebagai pelaksanaan Pasal 14 UU MK.
2)      Independen dan Imparsial
Pasal 2 UUMK menyatakan bahwa MK ialah salah satu forum negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan aturan dan keadilan. Pada Pasal 33 UU Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa dalam menjalankan kiprah dan fungsinya, Hakim wajib menjaga kemandirian peradilan. Independensi atau kemandirian tersebut sangat berkaitan dekat dengan perilaku imparsial atau tidak memihak hakim baik dalam investigasi maupun dalam pengambilan keputusan.Independensi hakim ialah jaminan bagi tegaknya aturan dan keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya harapan negara hukum. Indenpendensi menempel sangat dalam dan harus tercermin dalam proses investigasi dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait dekat dengan independensi pengadilan dalam hal ini ialah MK sebagai institusi yang berwibawa, bermartabat dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari aneka macam efek yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi dengan halus, dengan tekanan, paksaan, kekerasan, atau jawaban lantaran kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkausa, kelompok atau golongan, dengan bahaya penderitaan atau kerugian tertentu, atau dengan imbalan atau akad imbalan berupa laba jabatan, laba ekonomi, atau bentuk lainnya (dikutip dari bukunya Prof Jimly Asshidiqie “Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara” (hal. 53).Hakim yang tidak independen atau sanggup bangkit diatas kaki sendiri tidak sanggup diharapkan bersikap netral atau imparsial dalam menjalankan tugasnya. Demikian juga satu Mahkamah yang tergantung pada tubuh lain dalam bidang-bidang tertentu dan tidak bisa mengatur dirinya secara sanggup bangkit diatas kaki sendiri juga akan menimbulkan perilaku yang tidak netral dalam menjalankan tugasnya. Independensi dan imparsialitas ialah konsep yang mengalir dari doktrin separation of powers (pemisahan kekuasaan) yang harus dilakukan secara tegas supaya cabang-cabang kekuasaan negara tidak saling mempengaruhi.
3)      Peradilan Dilaksanakan Secara Cepat, Sederhana dan Murah
Pasal 4 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman memilih bahwa peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya enteng. Penjelasan atas ayat (2) tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan sederhana ialah investigasi dan penyelesaian kasus dialakukan dengan program yang efisien dan efektif sedangkan biaya murah ialah biaya kasus yang sanggup terpikul oleh raktyat. Dalam aturan program MK tidak dikenal adanya biaya kasus yang dibebankan pada pemohon atau termohon. Semua biaya yang menyangkut persidangan di MK dibebankan pada biaya negara. Menurut Prof. Jimly, ketentuan terkena biaya kasus dibebankan pada negara alasannya ialah bahwa proses peradilan di lingkungan MK pada pokoknya bukanlah mengadili kepentingan umum atau kepentingan lembaga-lembaga negara yang juga bersifat publik. Karena itu, orang berurusan dengan MK tidak perlu dibebani dengan beban biaya sama sekali. Selain itu, hal ini dimaksudkan untuk menjaga kehormatan dan kewibawaan MK, lebih baik bila MK dibebaskan dari keharusan bekerjasama keuangan dengan pihak lain. Biarlah seluruh kebutuhan MK dibebankan saja kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
4)      Hak untuk Didengar Secara Seimbang (Audi et Alteram Partem)
Dalam kasus yang diperiksa dan diadili di persidangan biasa, baik penggugat maupun tergugat, atau penuntut umum maupun terdakwa memiliki hak yang sama untuk didengar keterangannya secara diberimbang dan masing-masing pihak memiliki peluang yang sama mengajukan pembuktian untuk mendukung dalil masing-masing.Dalam nuansa yang sedikit tidak sama, pada pengujian undang-undang maka pemohon dan pemerintah serta dewan perwakilan rakyat maupun pihak yang berkaitan eksklusif dengan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji juga didiberi hak yang sama untuk didengar. Bahkan stakeholder lain yang merasa memiliki kepentingan dengan undang-undang yang diuji tersebut harus didengar bila pihak yang terkait tersebut mengemukakan keinginannya untuk memdiberi keterangan. Setidak-tidaknya memdiberi keterangan secara tertulis yang wajib dipertimbangkan MK bila keterangan tersebut mengandung nilai yuridis yang sanggup membuat terang permasalahan yang berkaitan denagn mekanisme pembuatan undang-undang tersebut maupun muatan materi atau penggalan pasal maupun ayat undang-undang yang diuji tersebut.Asas ini berkaitan dengan asas Independen dan Imparsial. Dalam proses perkara, pihak terkait yang tidak secara eksklusif ikut, keterangannya akan dinilai Mahkamah sebagai ad informabdum. Kegagalan hakim untuk melaksanakan asas ini secara baik akan mengakibatkan kesan bahkan tuduhan bahwa hakim atau Mahkamah tidak imparsial bahkan tidak adil. Dalam peradilan biasa hal demikian pun sanggup dijadikan alasan untuk membatalkan putusan yang sudah dijatuhkan.
5)      Hakim Aktif dan Juga Pasif dalam Proses Persidangan
Asas ini menarikdanunik, lantaran dalam aturan program MK hakim tidak spesialuntuk bersikap pasif saja, tetapi sekaligus harus bersikap aktif. Hal ini lantaran karakteristik khusus kasus konstitusi yang kental dengan kepentingan umum ketimbang kepentingan perorangan sudah menimbulkan proses persidangan tidak sanggup diserahkan spesialuntuk pada inisiatitif pihak-pihak. Mekanisme constitutional control harus digerakkan pemohon dengan satu undangan dan dalam hal demikian hakim bersikap pasif dan dihentikan secara aktif melaksanakan inisiatif untuk menggerakkan mekanisme MK menilik kasus tanpa diajukan dengan satu permintaan. Maka sekali undangan tersebut didaftar dan mulai diperiksa, disebabkan adanya kepentingan umum yang termuat didalamnya secara eksklusif maupun tidak eksklusif akan memaksa hakim untuk bersikap aktif dalam proses dan tidak menguntungkan proses spesialuntuk pada inisiatif pihak-pihak, baik dalam rangka menggali keterangan maupun bukti-bukti yang dianggap perlu untuk membuat terang dan terang hal yang diajukan dalam permohnan tersebut.
6)      “Ius Curia Novit”
Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman sebut bahwa“Pengadilan dihentikan menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu kasus yang diajukan dengan dalih bahwa aturan tidak ada atau kurang terang melainkan wajib untuk menilik dan mengadilinya”. melaluiataubersamaini kata lain bahwa Mahkamah dianggap mengetahui aturan yang diperlukan. Mahkamah tidak sanggup menolak memeriksa, mengadili dan memutus setiap kasus yang diajukan dengan alasan bahwa aturan nya tidak ada atau hukumnya kurang jelas.



= Baca Juga =



Posting Komentar untuk "Cara Pengajuan Sengketa Hasil Pilkada Ke Mk"